Jumat, 18 Februari 2011

ANGKLUNG,ALAT SENI SUNDA

Siapa tak mengenal Angklung? Angklung adalah alat musik tradisional Indonesia yang berasal dari tataran Sunda. Terbuat dari bambu, yang dibunyikan dengan cara digoyangkan dengan nada musik berasal dari getaran. Konon awal terciptanya, angklung dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh dengan subur. Namun seiring berjalannya waktu, angklung akhirnya menjadi salah satu kesenian tradisional kebanggaan masyarakat Sunda.

Sekilas memandang angklung sebagai instrument kesenian, mungkin generasi muda saat ini tidak menganggapnya sebagai permainan musik modern. Genre musik barat seperti Hip Hop, R&B, Soul, Alternative, lebih terkenal di kalangan anak muda ketimbang alat musik dari bambu ini. Kuno. Itu lah satu kata yang terlintas dalam benak mereka, padahal pada kenyataannya alat musik tradisional ini telah menjelajah mancanegara dengan segudang prestasinya yang gemilang. Tak kenal maka tak sayang. Pepatah lama itu berlaku terhadap musik tradisional ini. Generasi muda Indonesia saat ini kurang mengenal bahwa musik angklung pun dapat memainkan rhytme modern dengan menampilkan lagu-lagu pop barat terkenal seperti I have a dream-nya Westlife ataupun Musik Klasik-nya Mozart.
Salah satu komunitas yang konsisten melestarikan peninggalan budaya ini adalah Saung Angklung Udjo yang terletak di Jl. Padasuka 118 Bandung, Jawa Barat. Sang pencetus dan pembuat sanggar sering disapa Mang Udjo Ngalagena, sehingga sanggarnya terkenal dengan nama Saung Angklung Udjo. Mulai dari pertunjukan musik bambu yang dinamis-atraktif, pagelaran kesenian Jawa Barat seperti Wayang Golek, Rampak Kendang, Pencak silat, Sendratari, Drama Sunda, Tari Topeng khas Kacirebonan, hingga cara pembuatan alat-alat musik bambu (angklung) tersedia di sanggar seni Udjo ini.
Kecintaannya pada angklung diwujudkannya dengan membentuk sanggar yang kemudian tidak hanya menjadi tempat pengembangan seni angklung, tetapi sekaligus memproduksi alat musik dari bambu itu. Sepeninggal Mang Udjo, usaha melestarikan kesenian angklung diteruskan oleh anak-anaknya. Saat ini Saung Angklung Udjo di pimpin oleh Bapak Taufik Hidayat. Ia merupakan anak ke-9 dari almarhum Udjo Ngalagena, sang maestro Angklung.
Saung Angklung Udjo didirikan pada tahun 1967. Salah satu misi rumah seni ini adalah untuk melestarikan dan mengembangkan musik bambu. Selain pepohonan bambu yang banyak tumbuh di pekarangan rumah, di kompleks rumah seni ini juga terdapat bengkel pembuatan serta tempat-tempat penyimpanan angklung yang siap diekspor ke Korea, Jepang, Belanda, Jerman, Perancis, dan Amerika. Jadi, selain menikmati atraksi permainan musik, pengunjung juga bisa menyaksikan cara pembuatan angklung yang masih sangat tradisional. Bahkan terdapat sebuah poster besar tentang tata cara pembuatan angklung di depan lokasi bengkel ini.
Di balik merdunya angklung, ada proses pembuatan yang lama dan rumit. Tak sembarang bambu bisa digunakan. Hanya bambu hitam dengan usia lebih dari empat tahun yang bisa menghasilkan suara merdu. Dan tentu saja si pembuatnya harus memiliki kepekaan terhadap bunyi yang dihasilkan sebelum menebang bambu.
Keseharian anak-anak di sekitar sanggar pun tidak jauh dari permainan alat musik angklung, arumba, ataupun permainan tradisional khas anak kampung. Namun di situlah justru letak keunikan suasana di kampung Sunda ini. Permainan anak-anak yang ditampilkan jauh dari kesan modern, akan tetapi tetap memikat pengunjung dan menjadikan pengalaman yang sangat berkesan bagi wisatawan. Betapa pedoman back to nature sangat tertanam di areal sanggar Saung Angklung Udjo. Semua alat musik dan permainan berasal dari bambu yang ditanam di areal pekarangan sanggar. Salah satu alat musik tersebut adalah arumba. Arumba adalah alat musik bambu yang diciptakan dan dimainkan dalam format band, namun tetap dapat menghasilkan nada-nada harmonis dan dinamis. Arumba baru muncul pada tahun 1970-an. Arumba sendiri merupakan singkatan dari Alunan Rumpun Bambu.
Di tempat ini pula setiap hari seusai jam sekolah puluhan anak dari kampung sekitar diajari menyanyi, menari, dan memainkan angklung. Kemudian pada sore harinya, yaitu setiap pukul 15.30 hingga 17.30, semuanya diikutsertakan dalam pentas untuk menghibur pengunjung yang datang. Jumlah murid yang belajar di Saung Angklung Udjo berjumlah sekitar 400 orang, dengan usia paling kecil adalah berusia 2 tahun. Sistem pembelajaran yang diterapkan di Saung Angklung Udjo ini memang belajar sambil bermain dan berkarya, sehingga tidak ada aturan atau batasan usia bagi mereka yang ingin lebih mengenal dan belajar angklung secara intensif. Pola seperti ini telah diterapkan oleh sang pendiri Saung, yaitu Mang Udjo Ngagalena, sejak awal berdirinya Saung Angklung ini.
Menikmati kesenian Sunda di Saung Angklung Udjo memang tidak membosankan. Setelah MC memberi pengantar dengan bahasa bilingual yaitu Indonesia dan Inggris, pentas kesenian segera dibuka dengan pertunjukan wayang golek. Namun, di sini bukan cerita wayang golek itu yang ingin ditekankan. Kepada pengunjung justru diperlihatkan bagaimana boneka-boneka yang bisa menari dan melompat itu dimainkan.
Sang dalang dengan lihai menampilkan bagaimana wayang golek berbicara, menari dan berkelahi di pertempuran. Selain itu ketika layar dibuka terlihatkan bagaimana dalang memainkan wayang dibalik layar, dengan ujung jempol kakinya terikat pada kecrek, sibuk menghasilkan suara setiap kali adegan wayang bergerak dinamis. Dalam pagelaran ini diterangkan bahwa setiap individu wayang mewakilkan karakter sifat manusia, ada yang memiliki sifat baik dan juga jahat. Pertunjukan ini membawa pesan moral bahwa siapapun yang berbuat baik akan menuai kebahagiaan dan barangsiapa yang berbuat kejahatan akan merasakan karmanya.
Kemudian dengan iringan gendang dan alat musik yang semua terbuat dari bambu, aneka atraksi pesta rakyat yang melibatkan puluhan penari cilik disuguhkan. Pagelaran haleran sangat meriah dimainkan oleh anak-anak kecil dari berbagai usia, bahkan ada yang belum bersekolah. Haleran adalah sebuah tradisi untuk memberikan suatu hiburan bagi anak laki-laki yang hendak dikhitan. Dalam pertunjukan ini, anak yang dikhitan diarak keliling kampung dengan duduk di kursi khusus atau jampana yang diangkat oleh 2 orang punggawa. Sementara itu teman-temannya memberikan hiburan dengan menyanyi dan menari diringi dengan angklung tradisional, berlaraskan Salendro. Beberapa pesilat cilik pun tak kalah mahirnya menunjukkan keahlian mereka bermain pencak silat. Sungguh pagelaran yang sangat menarik dan kaya akan khasanah seni dan budaya tradisional Indonesia.
Setelah pagelaran Haleran selesai ditampilkan, 3 penari cilik maju ke pentas membawakan tarian Topeng khas Kacirebonan. Tari yang disajikan adalah cuplikan dari pola-pola tarian klasik Topeng Kandaga. Tarian ini dibawakan oleh 3 anak perempuan berusia sekitar 7 hingga 14 tahun. Tarian ini terbagi atas dua babak : Babak pertama (tanpa topeng), menceritakan Layang Kumintir, pembawa berita untuk Ratu Kencana Ungu dari Majapahit, yang sedang menyelidiki keadaan di kerajaan Blambangan. Babak kedua (memakai topeng), Layang Kumintir menyamar menjadi seorang pria gagah perkasa untuk melawan Raja Menak Djinggo dari Blambangan. Pentas tari ini memakan durasi sekitar 15 hingga 20 menit, penonton akan terkesima dengan kepiawaian para penari berliuk-liuk dengan sangat gemulainya. Keunikan dari tarian ini adalah sang penari menggigit topengnya dengan gigi ketika pada babak mengenakan topeng hingga selesai. Dibutuhkan keterampilan dan pelatihan khusus sehingga sang penari mahir menarikan tarian Topeng ini.
Permainan angklung mini menjadi atraksi selanjutnya yang dipertunjukkan. Angklung yang berukuran mini bukan sekedar pajangan, tetapi dimainkan oleh para seniman angklung cilik yang telah terlatih. Beberapa lagu anak-anak yang cukup populer di banyak negara, termasuk di Indonesia dinyanyikan bersama pengunjung yaitu Melati Kenanga yang dalam bahasa Inggrisnya berjudul The Song of Do Re Mi dan Burung Kakatua. Puncak dari pagelaran angklung mini ini adalah, sekitar 30 anak kecil berbagai usia putra dan putri yang masing-masing menjinjing alat musik angklung maju ke tengah gazebo melakukan choir serentak. Berbagai jenis lagu mereka perdengarkan. Lima lagu daerah di Indonesia diperdendangkan dengan sangat merdu menggunakan angklung, yaitu diantaranya adalah Yamko rambe Yamko dari Papua, Cublak Cublak Suwong dari Jawa Tengah, Bungo Jeumpa dari Aceh, dan Tipatibum dari Sumatera Barat.
Begitu selesai memperlihatkan keterampilan, para seniman cilik langsung berbaur dengan penonton. Masing-masing anak mendampingi seorang penonton sambil membagikan angklung. Sebelum penonton berinteraksi bermain angklung bersama, beberapa trik untuk menggunakan alat musik angklung diperagakan oleh sang pemandu acara. Di tengah ruangan, seorang pelatih kemudian memberi panduan kilat tentang cara memegang dan menggoyangkan alat musik itu untuk memperoleh tekanan suara yang diinginkan. Seniman cilik yang mendampingi pengunjung akan memperjelas dengan memberikan contoh langsung apa yang dimaksud pelatih. Setelah diberi tahu pula kaitan antara isyarat tangan dengan nada angklung mana yang harus dibunyikan.
Angklung memiliki dua tabung, yang besar dan yang kecil. Yang besar harus diletakkan di sebelah kanan, sedangkan yang kecil disebelah kiri. Pegang angklung pada bagian tengahnya dengan tangan kiri. Tangan kanan memegang sebelah bawah angklung, goyangkan angklung maka akan terdengar suara yang merdu dari dua tabung angklung. Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk memainkan angklung secara masal. Kode dengan menggunakan tangan dari sang pemandu musik (hand sign) atau membaca not angka di layar. Ini adalah metode yang mudah dimengerti dan cukup dikenal. Tiap pegunjung diberikan masing masing satu buah angklung yang memiliki angka tertentu dari 1 hingga 8 sesuai urutan tangga nada do re mi, tiap angka memiliki hand sign tersendiri. Pemandu musik akan membawakan lagu dengan menggerakkan tangannya sebagai symbol dari tiap nada dan selanjutnya akan terbentuk sebuah lagu dari rangkaian nada tersebut. Pada akhirnya para penonton pun akan mahir menggunakan angklung dan mengikuti hand sign dari sang pemandu untuk memperdendangkan sebuah lagu.
Wajah para seniman cilik tampak antusias membimbing para penonton pada sesi main angklung bersama ini. Dengan semangat, mereka memperhatikan para wisatawan baik domestik maupun mancanegara cara memainkan angklung mulai dari yang paling dasar hingga menjadi terampil.
"Hayo, jangan sampai salah cara memegangnya. Tangan kiri memegang tabung yang paling besar, tangan kanan menahan bagian tengah tabung. Badannya tidak perlu ikut goyang ya," seru sang pemandu dengan lincah sambil mencontohkan bagaimana memegang angklung yang benar. Gaya komedian terkadang muncul disela atraksi yang sedang dibawakan. Interaktif dan lucu sehingga membuat pengunjung semakin betah untuk menyaksikan rangkaian atraksi selama hampir 2 jam.
Ternyata memainkan alat musik angklung juga butuh koordinasi tubuh dan gerak yang baik. Beberapa penonton terlihat kesulitan memainkan angklung dengan baik dan benar seperti yang dicontohkan sang pelatih. Walhasil banyak di antara mereka yang duduknya menjadi tidak tenang karena tubuhnya berulang doyong ke kiri dan ke kanan mengikuti gerakan angklung. Bermain angklung interaktif dengan mengikutsertakan penonton dalam permainan angklung adalah salah satu kunci keberhasilan Saung Angklung Udjo menjadi tempat wisata favorit para wisatawan mancanegara. Hal ini terbukti dengan Saung Udjo sebagai destinasi wajib yang dikunjungi ketika berwisata ke Bandung.
Permainan tradisional tataran sunda seperti Oorayan (Ular-ularan) dan Cing Caripit pun anak-anak cilik mainkan berbaur dengan seluruh penonton yang riuh ramai memenuhi gazebo. Sungguh atraksi yang sangat unik, beberapa turis mancanegara bahkan kebingungan dengan permainan yang anak-anak praktekkan namun mereka tetap antusias dan gembira ria melakukan permainan ala kampung tersebut. Tertawa, menari, bernyanyi, bahkan bermain bersama dapat tercipta di tengah perbedaan bahasa, bangsa dan warna kulit.
“It’s an amazing attraction and it’s a great experienced also could played angklung by myself,” seorang wisatawan Eropa mengungkapkan kekagumannya terhadap atraksi ini.
Angklung adalah salah satu identitas budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Eksistensi angklung di peta wisata dunia menunjukkan betapa kayanya bumi Indonesia dengan seni dan budaya tradisionalnya. Ikut serta melestarikan kesenian angklung berarti turut berperan melestarikan identitas bangsa Indonesia, karena kebudayaan dalam sebuah Negara menunjukkan identitas dari Negara tersebut. Seni angklung yang menanamkan rasa gotong-royong dan keharmonisan, diharapkan dapat membawa angin segar perdamaian di bumi pertiwi. Selamat bermain angklung!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar